Barangkali pagi adalah waktu yang akan selalu disesali oleh pak Dirman.
Betapa tidak, kehadiran matahari yang menyilaukan mata lewat jendela sempit di
kamarnya itu kemudian memaksanya terbangun dari mimpi-mimpi malam untuk
menyaksikan kenyataan yang tak pernah dia harapkan sebelumnya. Lagi-lagi tubuh
ringkih yang hampir separuh abad tuanya itu harus mempersiapkan segalanya
dengan segera. Disulutnya kompor minyak yang sudah penuh karat untuk menanak
nasi. Lalu Pak Dirman bergegas menimba air untuk mandi. Begitulah, kemudian
anak semata wayangnya yang baru duduk di bangku SD kelas tiga itu dimandikan,
meski sudah besar. Setelah beres, baru Pak Dirman sarapan pagi bersama istrinya
sekaligus mendulang Dodi anak semata wayangnya.
Pak Dirman yang sudah sedemikian tua mengayuh becak yang mungkin sama-sama
tuanya menuju pasar, tempat yang katanya penuh rejeki itu. Tak jarang Pak
Dirman lupa mandi pagi dengan alasan tak ingin kehabisan rejeki, maklum harus berebut
dengan belasan tukang becak yang memiliki tujuan sama mengais rejeki. Itu pun
masih harus bersaing dengan angkot-angkot berbau amis di sekitar pasar.
“Pak Dirman…” sapa seorang wanita paruh baya dengan sedikit berteriak. Pak
Dirman mencoba mencari sumber suara yang cukup membuatnya terkaget saat
matahari semakin menampakkan warna silaunya.
“Eh, Mak Ijum” Pak Dirman tersenyum senang. Hatinya teramat bersyukur karena
wanita yang biasa menaiki becaknya itu belum pulang dari pasar. Seperti biasa,
dua buah keranjang yang dibawanya selalu penuh dengan sayur mayur dan lauk
pauk. Maklum punya warteg.
“Berarti aku tepat waktu” pikirnya. Segera becak tua itu diturunkan supaya
memudahkan penumpang saat menaikinya. Buru-buru Mak Ijum mengulurkan tangannya
tanda menolak tawaran Pak Dirman. Sontak Pak Dirman terkejut, dahinya yang
keriput mengernyit hingga semakin menampakkan lipatan-lipatannya.
“Kenapa, Mak?” suara Pak Dirman hampir tidak kedengaran, saking lirihnya.
“Saya mau naik angkot sajalah, Pak” Mak Ijum nyengir. Tangannya melambai ke
arah angkot bobrok yang tak jauh di hadapannya. Segera Mak Ijum menaiki angkot
dengan tergesa. Dunia terasa gelap dalam pandangan Pak Dirman. Harapannya
musnah. Mak Ijum sudah tidak membutuhkannya lagi, padahal selama ini dialah
satu-satunya penumpang setia yang mampu memberikannya sesuap nasi sekadar untuk
sarapan sekeluarga, meski hanya berlauk garam. Sial, angkot itu merebut
kehidupannya.
Pak Dirman menelan air liurnya yang kering. Disekanya butir-butir keringat
yang mengalir deras di lehernya. Kecewa berat, namun tak bisa apa-apa.
Pikirannya pun melayang kemana-mana. Pertama, keluarga. Istri yang telah
dinikahinya lima belas tahun lalu itu kini tak bisa melayaninya lagi. Ia lumpuh
karena stroke. Dulu Minah, istrinya itu bisa membantu penghasilan suaminya
dengan berjualan sayur segar mengelilingi komplek perumahan. Lumayan,
setidaknya bisa untuk makan dengan tempe goreng atau ikan asin kadang-kadang.
Tapi sekarang, bisa makan dengan garam pun Pak Dirman merasa sangat bersyukur. Lebih
bersyukur lagi karena Dodi masih bisa sekolah, ada bantuan dari pihak sekolah
katanya. Dengan demikian, urusan sekolah tidak jadi masalah lagi baginya. Pak
Dirman hanya berharap keluarga yang dicintainya baik-baik saja.
“Jangan Kau coba kami dengan cobaan yang lebih berat, Tuhan” gumam Pak Dirman
dalam doa-doanya yang panjang, penuh uaraian air mata, luka dan lara.
“Orang miskin sudah tidak berhak sakit, Tuhan. Negara ini kejam” adunya lagi.
Pak Dirman terus memikirkan keadaan keluarganya. Kini bayangan rumah kecil
sederhana yang dibeli dengan uang hasil menjual tanah di desa nampak jelas
dalam benaknya. Rumah itu sudah reot, perlu sekali dibenahi. Tapi, bagaimana
mungkin memikirkan rumah ya kalau mau makan saja masih sebegitu susah? Pak
Dirman menyeka keringatnya sekali lagi. Muka tuanya kelihatan lebih tua dari
usia sebenarnya.
Dipandanginya pasar yang mulai sepi. Hari semakin siang, terik terasa
membakar kulit hitam Pak Dirman. Ternyata memang tak ada penumpang, kecuali
satu. Seorang nenek tua yang nampak kesusahan membawa barang dagangannya. Nenek
tua itu seperti kebingungan, sementara tak ada orang membantunya pulang. Hati
kecil Pak Dirman tergugah untuk membantunya.
“Tak apalah jika belum dapat rejeki” bisik hati kecil Pak Dirman, bijak.
Becak tuanya ia dorong perlahan mendekati nenek tua yang tengah duduk sambil
memandangi jalan.
“Becak Uwa” tawar Pak Dirman tersenyum. Senyum yang ia paksa meski dalam
hatinya menangis menjeritkan luka-luka yang menganga. Nenek itu hanya
memandanginya lekat-lekat.
“Sampean mau nyulik saya yang sudah tua? Beraninya ya. Belum tau kalau suami
saya mantan preman pasar!” nenek tua itu membentak. Suaranya terdengar parau.
Gigi-giginya sudah banyak yang tanggal. Segera Pak Dirman beristighfar. Tak
disangkanya niat tulus dari lubuk hatinya yang terdalam kemudian tak dimengerti
oleh orang lain, malah disangkanya ia akan berbuat aniaya terhadap nenek tua
itu.
“Saya ingin bantu nenek” Pak Dirman berusaha sabar, meski setengah terkejut.
“Alah, saya sudah nggak percaya lagi sama orang lain. Semuanya Munafik! Kau
tahu, kota ini penuh kemunafikan.” tandas sang nenek berapi-api. Raut wajahnya
menampakkan kemarahan yang sangat.
“Sudah berkali-kali aku ditipu. Biar tua-tua begini aku punya harga diri.”
tambah nenek tua yang seolah kesetanan itu.
“Eh Pak, pergi saja kau cari mangsa yang lain”
Pak Dirman hanya termangu. Kata-kata yang terlontar dari mulut nenek tua itu
serasa masuk menghujam jantungnya. Terbayang, istrinya terbaring lemah di
rumah. Di sebuah dipan reot dekat jendela sempit yang ada di bagian samping
rumah. Hidup sudah tak ada artinya lagi mungkin. Setiap hari hanya memandang
keluar, mengamati hiruk pikuk kota. Melihat wanita-wanita seusianya asik
bercengkerama di teras-teras rumah sambil sesekali tertawa. Melihat matahri menyapa
seolah memberi semangat untuk bangkit, daripada terus-terusan tidur semakin
menambah penyakit. Tapi mau bagaimana jika semua seolah mustahil untuk
dilakukan? Minah hanya menangis bahkan nyaris tak bisa tersenyum ketika
suaminya, Pak Dirman yang begitu sabarnya mencoba menghibur ia dengan sisa-sisa
kantuk dan lelah sehabis pulang bekerja. Ia tak mampu lagi mengucapkan sepatah
kata pun. Stroke, stroke. Andai saja ia dapat berunjuk rasa kepada tuhan.
Sayang, tak semua orang akan setuju dengan idenya. Di mana sih tuhan yang
katanya bijak itu? Mana tuhan yang kata para pembesar agama itu Maha Pengasih,
Maha Pemberi, Maha Pengabul atas doa hambaNya yang meminta?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyesakkan rongga dadanya. Doa-doa yang
teruntai panjang dari hati kecil Minah dan mungkin tak cukup jika dicatat dalam
beribu-ribu lembar kertas dan buku seolah kabur tersapu angin sepi. Not
responding. Once again, where’s the God? (sekalian wae dicampur bhs arabe mb)
he
Pak Dirman baru ingat, istrinya pandai merajut. Mengapa tak ia belikan saja
jarum dan benang. Dulu waktu masih di desa, Minah pernah belajar pada emaknya.
Pak dirman merogoh saku celana kolornya, namun kosong. Lehernya serasa tercekik
oleh tangan-tangan berkuku panjang.
“Eh, kenapa Kowe masih di sini?” tiba-tiba suara parau itu kembali mengejutkan
Pak Dirman. Rupanya ia telah terdiam begitu lama di hadapan nenek tua yang
tadinya ingin ia bantu itu.
‘Iii…ia Uwa” Pak Dirman akhirnya pergi sambil menggenjot pedal becaknya.
Batinnya bergejolak. “Negeri macam apa ini?”
Pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan istrinya tiba-tiba
muncul memenuhi ruang kepala. Di manakah Tuhan ketika hambaNya kesusahan? Makan
susah, Minum susah, tersenyum dan tertawa pun lebih susah. Yaa, sedikit
membenarkan lagu yang pernah didendangkan Sherina, beberapa tahun yang lalu
saat ia masih menikmati pekerjaannya sebagai tukang becak, namun sedikit
berpenghasilan. Barangkali bisa untuk membeli tempe goreng di warung Mak Ijum,
sambil menonton tivi 14 inchi.
Pak Dirman mengontel pedalnya dengan lebih cepat, berharap ada peluang
mendapatkan rejeki hari ini. Anak istri di rumah tentu belum makan siang.
Seperti dirinya yang tengah mendengarkan cacing-cacing di perutnya berteriak
minta makan. Perih memang.
Otak di kepalanya ia paksa berpikir dan terus berpikir. Kini pikirannya tiba
pada masalah janji. Oh, janji mana memang? Pak Dirman ingat betul, beberapa
tahun lalu ketika istrinya masih sehat, ada calon bupati yang mampir ke
tempatnya. Katanya mau melihat-lihat rumah di komplek tempat tinggalnya itu,
lalu menyeleksi rumah-rumah terpilih untuk diberi bantuan material. Tentu jika
calon bupati itu nantinya menang dalam pemilihan. Rupanya Pak Dirman termasuk
satu dari sekian warga yang terpilih. Ia akan diberi bantuan, dengan cara
memilih calon bupati tersebut. Ya begitulah kiranya akal-akalan dari orang yang
gila akan jabatan. Gila memang, karena segala cara akan dilakukan. Tapi untuk
orang-orang seperti Pak Dirman tentu saja hal yang seperti itu tak perlu
dipermasalahkan. Ia bahkan manut saja, yang penting nyoblos nomor yang dimaksud
saat pemilihan.
Kini Pak Dirman baru sadar, bahkan di akhir masa jabatan calon bupati yang
ternyata licik itu, rumah reotnya belum sekalipun tersentuh oleh bantuan
material seperti yang dijanjikan. Mendatangi kompleknya saja tidak pernah. Ah,
busuk memang. Mau protes? Ah, ribet. Harus menghadapi orang-orang berbaju rapih
di kabupaten. Sementara, orang yang datang sama sekali tidak wangi. Bagaimana
jika nanti mereka menutup mata? Kalau menutup hidung, ia kira wajar-wajar saja.
Keringat di leher Pak Dirman mengalir semakin deras. Namun Pak Dirman tak mau
mempedulikannya lagi. Biarlah keringat itu menjadi saksi akan perjuangannya.
Pak Dirman mengayuh kembali becaknya menuju pasar. Hidup baginya tak boleh
putus asa. Ia tak boleh mempertanyakan keberadaan Tuhan. Yang jelas, Tuhan akan
selalu ada dalam hatinya. Jika saja ia mendekati Tuhan sejengkal, Tuhan akan
mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati Tuhan sehasta, Tuhan akan mendekatinya
sedepa. Jika ia mendekati Tuhan dengan berjalan, Tuhan akan mendekatinya dengan
berlari. Ia ingat betul petuah Haji Somad yang kemarin menaiki becaknya saat ia
hampir putus asa. Saat ia ingin menceburkan dirinya dalam sungai di tengah
kota. Karena tiba-tiba saja sosok Haji Somad muncul secara tiba-tiba dan
menggenggam tangannya. Lalu Haji Somad menaiki becak dan memberikan sejumlah
uang yang membuatnya kaget. Barangkali Uang Kaget memang, seperti program
televisi yang pernah ia lihat di tivi 14 inchi milik Mak Ijum dulu, sambil
menikmati tempe goreng dan teh tubruk yang hangat.
Uang kaget itu membuat istrinya kaget, hingga saat ini Minah mulai menikmati
hidupnya dengan penuh senyuman. Mungkin kedua kakinya tak dapat digerakkan,
tapi mulutnya kini dapat melafalkan huruf-huruf dalam deretan abjad dengan
lancar dan mampu membentuk kata kemudian menjadi kalimat. Ia menjadi Minah yang
bisa mendendangkan shalawat ketika Dodi tertidur dalam pangkuannya. Ia dapat
merajut pernak-pernik yang hasilnya cukup untuk memoles wajahnya dengan bedak,
supaya terlihat agak cantik. Stroke yang semakin mengurangi usianya itu
ternyata sedikit memudarkan kecantikam Minah. Kalau dibilang mukjizat mungkin
terlalu berlebihan karena Pak Dirman sekeluarga bukanlah nabi atau calon nabi.
Ulama pun bukan, tapi mereka yakin akan kasih sayang Tuhan. Alloh telah
memberikannya kemudahan. Pak Dirman sekeluarga sadar, telah lama mereka
meninggalkan shalat. Mereka hanya berdoa dan terus berdoa menanti keajaiban
tiba. Namun ternyata semua itu salah.
“Maafkan Kami, Tuhan” Pak Dirman meneteskan air mata.
Kini Pak dirman telah kembali siap untuk bersaing dengan angkot-angkot bobrok
yang berbau amis di sekitar pasar. Tak apalah ia kehilangan mak Ijum dari
daftar penumpangnya. Bukan berarti itu kiamat kan?
Tukang becak nampak semakin sepi dari pasaran. Banyak yang tidak betah karena
sepi akan penumpang. Tapi justru itu kesempatan bagi Pak Dirman, karena kini
nenek-nenek tua pun lebih suka memilih becak Pak Dirman. Kok bisa? Ya bisa.
Oh iya,
Kalau saja, beberapa waktu lalu ia tak membawa wanita malang yang ternyata
istri Haji Somad itu ke rumah sakit saat kecelakaan. Mungkin bukan uang kaget
yang ia dapatkan. Untung saja Haji Somad segera datang saat ia berniat
mengakhiri hidupnya. “Alhamdulillah”
—
Ratusan orang nampak berunjuk rasa di depan kantor kabupaten. Ramai.
“Turunkan Joko! Turunkan Joko!”
“Pelaku Korupsi harus mati!”
“Turun! Turun! Turun!”
Jalur utama jalan diblockade oleh massa yang mengamuk karena marah.
Pak Dirman mengelus dada. “Astaghfirullah” bisiknya dalam hati.
Bupati yang dulu dipilihnya itu ternyata korupsi.
Cerpen Sebuah Harapan
Diposting oleh
Reqeee rikod
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar